Sabtu, 18 Februari 2012

Prosfek Persuteraan Alam

Sutera alam bisa menjadi salah satu komoditi unggulan bagi Indonesia. Mengingat iklim dan kondisi alam di Indonesia sangat mendukung untuk mengembangkan usaha tersebut. Lahan dengan ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut sebagai media tanam murbei dan pemeliharaan ulat sutera untuk menghasilkan kokon yang baik, tersedia cukup banyak dan tersebar di beberapa daerah. Daerah potensial untuk pengembangan sutera di Indonesia antara lain, Jawa Barat (Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, danwakarta), Jawa Tengah (Pemalang, Jepara, Pekalongan, Pati, Wonosobo, Magelang, dan Temanggung), Yogyakarta (Sleman, dan Bantul), Bali (Tabanan, Denpasar, dan Karangasem), Sulawesi Selatan (Wajo, Soppeng, dan Enkerang), Sumatera Utara (Simalungun, dan Deli Serdang), serta daerah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Kalimantan, NTB, NTT, Sulawesi tengah, dan Sulawesi Uatara.

        Selain itu usaha sutera ini punya nilai ekonomi dengan skala investasi yang dapat dikelola masyarakat. Jadi pengembangan sutera di Indonesia cukup strategis karena; per tama dapat melibatkan banyak tenaga kerja termasuk petani. Kedua, membukaempatan usaha. Ketiga, memberi kesempatan mengembangkan ekonomi kerakyatan. Keempat, meningkatkan pendapatan petani. Kelima, meningkatkan devisa. Keenam, membuka peluang usaha dibidang jasa.

        Belum mandiri, Usaha persuteraan alam di Indonesia sebetulnya dimulai sejak 1930-an. Namun saat itu masih dalam percobaan, sehingga hasilnya belum memuaskan. Hingga kini meski usaha persuteraan alam Indonesia telah berlangsung hampir 80 tahun, tapi belum mampu mandiri masih membutuhkan peran atau dukungan pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten atau /kotamadya serta stakeholder. Sebagai gambaran dibidang usaha budidaya ulat sutera produksi kokon nasional rata-rata per tahun baru bisa mencapai sekitar 250 ton. Setelah diproses menjadi benang menghasilkan sekitar 31,25 ton benang. Sedang kapasitas produksi industri pemintalan benang nasional sebesar 87,5 ton atau butuh kokon sebanyak 700 ton. Jadi melihat kondisi tersebut jelas industri pemintalan kita belum operasional secara maksimal, masih kekurangan kokon sekitar 450 ton.

        Bila potensi sutera bisa dimanfaatkan, maka multiplier efeknya akan sangat besar utamanya terhadap penyerapan tenaga kerja. Sebagai contoh untuk produksi benang 25 ton per tahun yang diproduksi oleh 2.363 unit usaha di daerah Sulses (Kab.  Enrekang, Soppeng, dan Wajo), dan Jabar (Kab. Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Cianjur) menyerap tenaga kerja sebanyak 7.796 orang. Bisa dibayangkan apabila kapasitas produksi  pemintalan benang nasional bisa terpenuhi maka akan terjadi penyerapan tenaga kerja hampir 30.000 tenaga kerja. Dan akan terjadi penyerapan tenaga kerja lebih besar lagi, apabila kita mampu memenuhi kebutuhan benang secara nasional yang sekitar 1.000 ton. Itu baru dari sisi industri pemintalannya. Sedang dari industri pertenunan kain sutera yang terdiri dari sistim gedogan, alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat mesin (ATM) tercatat sebanyak 46.257 unit usaha menyerap tenaga kerja hampir 150.000 orang, dan menghasilkan 6.180.000 meter kain setara dengan nilai Rp 309 miliar. Kadri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar