Sutera
alam bisa menjadi salah satu komoditi unggulan bagi Indonesia.
Mengingat iklim dan kondisi alam di Indonesia sangat mendukung untuk
mengembangkan usaha tersebut. Lahan dengan ketinggian 400-800 meter di
atas permukaan laut sebagai media tanam murbei dan pemeliharaan ulat
sutera untuk menghasilkan kokon yang baik, tersedia cukup banyak dan
tersebar di beberapa daerah. Daerah potensial untuk pengembangan sutera
di Indonesia antara lain, Jawa Barat (Cianjur, Garut, Tasikmalaya,
Sukabumi, danwakarta), Jawa Tengah (Pemalang, Jepara, Pekalongan, Pati,
Wonosobo, Magelang, dan Temanggung), Yogyakarta (Sleman, dan Bantul),
Bali (Tabanan, Denpasar, dan Karangasem), Sulawesi Selatan (Wajo,
Soppeng, dan Enkerang), Sumatera Utara (Simalungun, dan Deli Serdang),
serta daerah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi,
Bengkulu, Kalimantan, NTB, NTT, Sulawesi tengah, dan Sulawesi Uatara.
Selain itu
usaha sutera ini punya nilai ekonomi dengan skala investasi yang dapat
dikelola masyarakat. Jadi pengembangan sutera di Indonesia cukup
strategis karena; per tama dapat melibatkan banyak tenaga kerja termasuk
petani. Kedua, membukaempatan usaha. Ketiga, memberi kesempatan
mengembangkan ekonomi kerakyatan. Keempat, meningkatkan pendapatan
petani. Kelima, meningkatkan devisa. Keenam, membuka peluang usaha
dibidang jasa.
Belum mandiri,
Usaha persuteraan alam di Indonesia sebetulnya dimulai sejak 1930-an.
Namun saat itu masih dalam percobaan, sehingga hasilnya belum memuaskan.
Hingga kini meski usaha persuteraan alam Indonesia telah berlangsung
hampir 80 tahun, tapi belum mampu mandiri masih membutuhkan peran atau
dukungan pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten atau /kotamadya
serta stakeholder. Sebagai gambaran dibidang usaha budidaya ulat sutera
produksi kokon nasional rata-rata per tahun baru bisa mencapai sekitar
250 ton. Setelah diproses menjadi benang menghasilkan sekitar 31,25 ton
benang. Sedang kapasitas produksi industri pemintalan benang nasional
sebesar 87,5 ton atau butuh kokon sebanyak 700 ton. Jadi melihat kondisi
tersebut jelas industri pemintalan kita belum operasional secara
maksimal, masih kekurangan kokon sekitar 450 ton.
Bila potensi
sutera bisa dimanfaatkan, maka multiplier efeknya akan sangat besar
utamanya terhadap penyerapan tenaga kerja. Sebagai contoh untuk produksi
benang 25 ton per tahun yang diproduksi oleh 2.363 unit usaha di daerah
Sulses (Kab. Enrekang, Soppeng, dan Wajo), dan Jabar (Kab. Garut,
Tasikmalaya, Sukabumi, dan Cianjur) menyerap tenaga kerja sebanyak 7.796
orang. Bisa dibayangkan apabila kapasitas produksi pemintalan benang
nasional bisa terpenuhi maka akan terjadi penyerapan tenaga kerja hampir
30.000 tenaga kerja. Dan akan terjadi penyerapan tenaga kerja lebih
besar lagi, apabila kita mampu memenuhi kebutuhan benang secara nasional
yang sekitar 1.000 ton. Itu baru dari sisi industri pemintalannya.
Sedang dari industri pertenunan kain sutera yang terdiri dari sistim
gedogan, alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat mesin (ATM) tercatat
sebanyak 46.257 unit usaha menyerap tenaga kerja hampir 150.000 orang,
dan menghasilkan 6.180.000 meter kain setara dengan nilai Rp 309 miliar.
Kadri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar